Menghadapi lingkungan keluarga yang cuek terhadap apapun yang dialami membuat seseorang menjadi terbiasa menyimpan semuanya sendiri. Lingkungan keluarga seperti ini biasanya karena mereka tak terbiasa mengungkapkan perasaannya.

Banyak orang mengalami kondisi ini, terutama di masyarakat yang budayanya percaya bahwa emosi harus ditekan daripada diekspresikan.

Ciri-Ciri Keluarga yang Tidak Ekspresif Secara Emosional

Keluarga yang tidak menunjukkan ekspresi emosional bukan berarti tidak menyayangi satu sama lain. Namun, kasih sayang keluarga seringkali tidak terlihat secara langsung.

1. Minim Afeksi Fisik dan Verbal

Keluarga yang tertutup secara emosional hampir tidak pernah mengucapkan kata-kata kasih sayang. Kalimat seperti “Aku sayang kamu” atau “Aku bangga padamu” mungkin terdengar asing atau bahkan tidak pernah sama sekali.

Begitu juga dengan pelukan hangat setelah hari yang sulit, atau tepukan di bahu sebagai tanda dukungan. Padahal bagi anak-anak dan remaja, validasi emosional ini sangat penting untuk membangun rasa aman dan harga diri.

2. Percakapan yang Fungsional Saja

Seringkali, komunikasi keluarga ini terbatas pada masalah teknis dan cenderung kepada hal-hal yang penting saja, seperti “Udah makan?” “Bagaimana nilai ulangan kamu?” “Nanti jemput adik, ya.” Tidak ada percakapan yang cenderung perhatian dan emosional seperti “Kamu stres gak akhir-akhir ini?” atau “Kenapa kamu kelihatan sedih hari ini?”

Topik emosional seperti kesedihan, kekecewaan, ketakutan, atau kecemasan dianggap tidak penting atau tabu. Akibatnya, anak-anak belajar bahwa membicarakan perasaan itu tidak aman atau tidak wajar.

3. Kecenderungan Menghindari Konflik

Konflik sering dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari dalam keluarga yang tertutup secara emosional. Ketika masalah muncul, orang biasanya diam, menyibukkan diri, atau bertindak seolah-olah tidak ada masalah.

Anggota keluarga lebih suka memendam atau bahkan menjauh untuk sementara waktu, tanpa pernah benar-benar menyelesaikan masalah.

4. Tekanan untuk Menjadi ‘Kuat’ Sepanjang Waktu

Keluarga yang tertutup secara emosional sering memiliki tekanan untuk menjadi tegas, tidak manja, dan selalu menunjukkan bahwa mereka baik-baik saja dengan ungkapan seperti “Nangis itu buat orang lemah,” “Jangan lebay, biasa aja,” “Masalah kayak gitu mah kecil, tahan aja.”

Ucapan seperti ini secara tidak sadar, memiliki dampak yang signifikan. Anak-anak yang terluka, takut, atau kecewa tidak memiliki waktu untuk memproses emosi mereka. Mereka malah didorong untuk segera move on tanpa mendapatkan bukti emosi mereka.

Cara Mengatasinya

Jika kamu dibesarkan dalam keluarga yang memiliki batas emosional, mungkin sekarang kamu merasa tertekan saat harus berbicara atau merespons perasaan orang lain. Berikut ini adalah beberapa cara yang sederhana tetapi efektif untuk membuat keluarga lebih terbuka secara emosional.

1. Berani Jujur dengan Kerentanan dalam Diri

Banyak orang dewasa percaya bahwa mereka harus selalu kuat untuk menjadi contoh yang baik. Berbicara jujur tentang rasa takut, marah, cemas, atau kecewa menunjukkan bahwa kerentanan itu manusiawi.

Jujur dan mau mengekspresikan emosi kamu, bisa memberi contoh kepada anggota keluarga lain bahwa membuka diri adalah itu aman. Mereka tidak akan ditertawakan, diabaikan, atau disalahkan.

2. Ciptakan Ruang Aman untuk Bercerita

Ruang aman melibatkan lingkungan mental dan fisik. Anggota keluarga, anak-anak, atau pasangan hanya akan terbuka jika mereka merasa tidak akan dihakimi, didengarkan dengan baik, tidak harus menyenangkan orang lain dengan cerita mereka.

Hal ini bisa dimulai dalam kebiasaan sehari-hari seperti mengumpulkan setiap anggota keluarga dan berbagi cerita satu sama lain, atau menanyakan perasaan yang dialami saat ini. 

3. Validasi Perasaan Tanpa Menghakimi

Kalimat yang kesannya menggampangkan perasaan orang lain bisa sangat merusak mood. Cobalah untuk menanggapi dengan validasi perasaannya tanpa menghakimi atau menggampangkan. Kamu bisa mengatakan hal seperti “Pasti berat ya rasanya,” “Wajar kok kamu ngerasa begitu,” “Makasih ya udah cerita. Aku hargai banget.”

Validasi menunjukkan bahwa kamu bukan hanya mendengarkan, tetapi juga memungkinkan emosi untuk muncul tanpa rasa bersalah.

Kalau kamu merasa menjadi orang yang kaku, itu bukan berarti kamu orang yang dingin, mungkin kamu hanya belum pernah diajarkan. Kamu bisa belajar, tumbuh, dan menciptakan ruang emosional yang lebih sehat untuk diri sendiri dan orang sekitar. 

Baca juga “Gen Z Cemas Saat Gak Produktif? Ini Alasan, Dampak, dan Cara Menghadapinya”