Saat ini, media sosial sudah menjadi bagian yang penting bagi setiap orang. Seringkali seseorang dinilai bukan dari kehidupan nyata, melainkan dari tampilan media sosial. Memodifikasi foto, gaya caption, pilihan filter, dan bahkan konten cerita dapat mengubah seseorang dari apa yang sebenarnya terjadi.

Tampilan seseorang yang terlihat di media sosial ini sering disebut sebagai persona, yang bertujuan untuk membangun karakter publik. 

Apa Itu Persona?

Persona adalah sifat yang terlihat oleh orang lain, dan seringkali berbeda dari diri aslinya di dalam. Persona di media sosial bisa terlihat dalam bentuk gaya berpakaian, bahasa caption, topik konten yang diangkat, dan ekspresi yang ditampilkan.

Persona berbeda dengan istilah topeng sosial. Persona adalah versi diri yang dikonstruksi untuk menarik audiens, terlihat menarik, atau sesuai tren tertentu.. Sedangkan topeng sosial adalah bentuk adaptasi diri agar bisa diterima di suatu lingkungan tertentu.

Alasan Orang Membentuk Persona di Dunia Maya

Banyak orang membentuk persona di media sosial karena tekanan sosial yang didapatkan untuk selalu terlihat menarik, sukses, dan bahagia. Selain itu, FOMO juga menjadi faktor yang besar saat melihat orang lain menciptakan versi ideal dan estetik dari dirinya di media sosial.

Persona di media sosial juga dapat menjadi tempat untuk mengeksplorasi identitas bagi sebagian orang. Mereka dapat menunjukkan versi diri yang lebih berani, bebas, atau kreatif. Namun, bagi beberapa orang, persona justru menjadi cara untuk melarikan diri dari situasi yang tidak menyenangkan.

Apakah Persona Sama dengan Kepalsuan?

Persona di media sosial seringkali dikaitkan dengan pencitraan yang identik dengan kepalsuan. Berikut penjelasan mengenai hubungan persona dengan kepalsuan.

Persona sebagai Strategi Komunikasi

Faktanya, tidak semua persona bersifat palsu. Persona dapat menjadi cara yang lebih efektif untuk menyampaikan pesan dalam komunikasi publik. Persona digunakan oleh publik figur, pembuat konten, bahkan merek untuk membangun hubungan dengan audiensnya.

Contohnya, seseorang dapat membangun karakter sebagai “kakak yang cerdas” di Twitter atau “cewek independen” di Tikotk. Itu bukan kebohongan, sebaliknya, itu menunjukkan aspek tertentu dari kepribadiannya.

Batas antara Mengekspresikan Diri dan Memalsukan Identitas

Ketika persona diciptakan untuk menarik perhatian, validasi, atau pengakuan tanpa didasarkan pada kepribadian atau nilai yang sebenarnya, masalah muncul. Di sinilah persona dapat berubah menjadi manipulator, baik terhadap orang lain maupun diri sendiri.

Seseorang dapat kehilangan keasliannya jika terlalu larut dalam suatu peran. Tekanan untuk tetap “berakting” meningkat seiring dengan ukuran perbedaan antara “persona digital” dan “diri nyata.”

Membentuk persona bukanlah hal yang negatif, melainkan adalah bagian dari adaptasi dan ekspresi diri manusia. Perlu diingat kalau persona bukanlah identitas diri sepenuhnya. Baca juga “Healing Tapi Capek: Kenapa Gen Z Liburan Malah Bikin Lelah?”