Pernah scroll media sosial terus lihat foto liburan mewah, mobil keren, atau outfit mahal, terus berpikir, “Wah, keren banget ya hidup mereka”? Bisa jadi itu contoh flexing trend yang sekarang makin marak di kalangan pengguna media sosial. Melenturkan bukan sekadar berbagi kebahagiaan atau pencapaian, namun lebih ke upaya menunjukkan gaya hidup, aset, atau status sosial dengan tujuan menarik perhatian dan pengakuan publik. 

Apa Itu Flexing ?

Flexing adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perilaku pamer khususnya pamer kemewahan, kekayaan, atau prestasi di media sosial. Orang yang flexing akan membagikan unggahan yang menonjolkan kekayaan, status, atau gaya hidup glamor dengan harapan mendapat pujian, pengakuan, atau sekadar suka dari pengikut

Perbedaannya hanya dengan berbagi momen biasa, flexing bertujuan menyampaikan bahwa “ini kehidupan saya keren, kalian lihat deh” bukan hanya untuk berbagi kebahagiaan. 

Mengapa Banyak Orang Melakukan Flexing ?

Ada beberapa alasan yang membuat flexing menjadi menarik dan dianggap wajar di media sosial. Bagi sebagian orang, flexing bisa jadi cara untuk meningkatkan rasa percaya diri atau mendapatkan validasi dari lingkungan. Mereka merasa perlu diperhatikan atau diakui. 

Kadang-kadang kelenturan muncul karena dorongan sosial: ketika melihat banyak teman atau orang lain pamer gaya hidup mewah, timbul rasa ingin setara atau bahkan lebih baik sehingga muncul dorongan untuk pamer juga. 

Pada media sosial dan algoritma yang menghargai konten viral, flexing sering dianggap sebagai strategi untuk menarik perhatian, pengikut, atau bahkan kesempatan termasuk peluang kerja atau bisnis. 

Dampak Flexing Bukan Cuma Sekedar Pamer

Meskipun flexing bisa memberi kesan glamor pada saat itu, fenomena ini punya sisi gelap. Banyak penelitian menunjukkan bahwa flexing bisa berdampak negatif, baik bagi pelaku maupun orang yang melihatnya. 

Bagi pelaku, fleksibilitas dapat mendorong perilaku konsumtif: membeli barang di luar kemampuan finansial demi terlihat wah. Itu bisa menyebabkan stres finansial, utang konsumtif, dan prioritas keuangan yang salah. 

Bagi penonton, sering melihat konten glamor bisa memicu perasaan iri, kekaguman sosial, atau rasa kurang pada diri sendiri karena media sosial memberi bayangan bahwa semua orang lain hidupnya sempurna. 

Selain itu, flexing bisa membentuk citra palsu, kesuksesan atau kemewahan yang ditampilkan di media sosial belum tentu mencerminkan kenyataan  bisa jadi hanya ilusi untuk cari perhatian atau validasi. 

Bagaimana Menghadapi atau Menghindari Flexing?

Di era media sosial yang penuh visual mulai dari outfit estetik sampai liburan mewah wajar kalau kita kadang ngerasa kalah start atau minder. Scroll sedikit, eh muncul lagi yang pamer mobil baru. Scroll lagi, ada yang upload unboxing gadget belasan juta. Fenomena ini makin sering muncul karena flexing sudah jadi gaya komunikasi baru di internet. Nah, biar nggak kebawa arus atau capek dibandingin terus sama hidup orang lain, ada beberapa cara buat ngadepin tren ini dengan kepala dingin dan hati yang tetap waras.

1. Sadari bahwa konten bisa menipu

Bener banget, yang di lihat di media sosial cuma highlight hidup orang bukan semuanya. Foto bisa diedit, kamera bisa memanipulasi angle, dan momen bisa dipilih yang paling sempurna. Jadi, kalau ada yang terlihat 24/7 bahagia dan glamor, belum tentu itu realita. Dengan mindset ini, bisa lebih tenang dan nggak gampang terbawa emosi saat lihat konten yang wah.

2. Fokus pada kebutuhan dan kemampuan diri sendiri

Flexing paling bahaya kalau sampai bikin kita jadi impulsif ikut-ikutan beli barang mahal biar terlihat setara. Padahal finansial tiap orang beda. Yang penting, tetap prioritaskan kebutuhanmu sendiri. Kalau belum butuh atau belum mampu, nggak usah maksa. Mental kamu juga bakal jauh lebih lega kalau nggak hidup buat standar orang lain.

3. Bijak dalam berbagi

Pengen upload pencapaian atau momen bahagia? Boleh banget! Tapi lakukan dengan jujur, secukupnya, dan bukan untuk menunjukkan “aku lebih keren dari kalian.” Dengan berbagi secara tulus, kamu tetap bisa menikmati media sosial tanpa jatuh ke pola pamer yang bikin beban.

4. Batasi pengaruh media sosial

Kalau merasa makin stres setiap buka medsos, itu tanda kamu butuh jeda. Ambil waktu untuk detox, stop scroll nggak jelas, dan fokus ke dunia nyata. Kadang hal paling sehat yang bisa kamu lakukan adalah membatasi paparan dari konten yang bikin kamu membandingkan diri terus.

5. Bangun kepercayaan diri dari dalam

Pada akhirnya, validasi diri yang paling kuat itu datang dari dalam, bukan dari likes atau komentar. Kepercayaan diri tumbuh dari rasa syukur, pencapaian nyata, dan hubungan yang sehat. Semakin kamu nyaman dengan dirimu sendiri, semakin kecil kemungkinan terguncang hanya karena melihat orang lain flexing.

Flexing memang bisa terasa seru, tampil keren, dapat perhatian, bahkan mungkin peluang. Tapi di balik itu, ada risiko nyata dari tekanan finansial, stres mental, sampai citra palsu yang bisa merusak diri. Dengan mengenali fenomena ini secara kritis, kita dapat tetap menikmati media sosial tanpa harus terjebak dalam refleksi konsumtif atau hidup berdasarkan ekspektasi orang lain. Ingat, nilai tidak ditentukan oleh jumlah suka tapi seberapa kamu menghargai diri sendiri, integritasmu, dan kesejahteraan.

Baca Artikel lainnya: Belanja impulsif sebagai mekanisme coping