Pernah merasa pikiran terus menerus kepikiran sesuatu sampai nggak tenang? Kalau itu terjadi terus dan bikin kamu melakukan hal berulang tanpa henti, bisa jadi itu Obsessive Compulsive Disorder atau OCD. OCD bukan sekadar teliti atau rapi, tapi gangguan kesehatan mental yang membuat pikiran obsesif muncul terus meskipun di luar kendali kita sendiri. 

Apa itu OCD

Obsessive Compulsive Disorder atau OCD, yaitu gangguan kesehatan mental yang melibatkan pikiran obsesif dan dorongan untuk melakukan perilaku tertentu secara berulang agar kecemasan sedikit mereda. Meski kadang dianggap terlalu teliti, OCD sebenarnya lebih kompleks dari sekadar perfeksionisme biasa dan bisa mengganggu keseharian penderitanya.

OCD ditandai oleh dua hal utama, yaitu pikiran obsesif yang tidak diinginkan dan tindakan kompulsif yang dilakukan untuk meredakan kecemasan akibat obsesi tersebut. Misalnya, seseorang bisa terus mencuci tangan berkali-kali karena takut tertular kuman, atau terus merapikan barang sampai merasa lega sesaat. 

Gangguan ini bisa dialami siapa saja, biasanya mulai muncul di masa remaja atau dewasa muda, meskipun kadang sudah kelihatan sejak anak-anak. Meski penyebab pastinya belum sepenuhnya diketahui, faktor genetika, stres berat, hingga riwayat gangguan mental lain bisa berperan meningkatkan risikonya. 

Gejala OCD yang Sering Terjadi

Kebiasaan melakukan sesuatu secara berulang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Salah satu contohnya adalah pikiran obsesif yang terus muncul tanpa diundang, seperti takut kotor atau merasa segala sesuatu harus dilakukan dengan cara tertentu. 

Selain itu, perilaku kompulsif bisa terlihat jelas, misalnya terus mencuci tangan sampai kulit jadi sakit atau selalu mengecek kunci pintu berkali-kali sebelum pergi. Bahkan, obsesi dan kompulsi bisa menghabiskan banyak waktu, sampai kamu merasa sulit berkegiatan seperti biasa. 

Gejala ini tidak hanya soal kebersihan atau keteraturan obsesi bisa berupa kekhawatiran berlebihan terhadap keselamatan diri sendiri atau orang lain, serta kebutuhan kuat untuk merespons pikiran dengan ritual tertentu. Saat obsesi muncul, tindakan kompulsif dilakukan untuk mengurangi kecemasan, meskipun hanya bersifat sementara. 

Dampak OCD pada Kehidupan Sehari-hari

Kalau dibiarkan begitu saja, OCD bisa sangat mengganggu. Penderitanya sering merasa terhambat dalam aktivitas sehari-hari karena obsesi dan kompulsi yang terus berulang. Situasi ini bisa membuat stres makin berat, bahkan memicu gangguan mental lain seperti kecemasan atau depresi. 

Perilaku ritual yang tidak terkendali bisa mengambil banyak waktu, membuat hubungan sosial terganggu, dan bahkan berdampak pada kualitas kerja atau sekolah. Misalnya, ada orang yang kehilangan fokus karena terus-menerus mengecek sesuatu, atau merasa sangat cemas saat hal kecil tidak dilakukan dengan cara tertentu. 

Cara Mengelola dan Mengatasi OCD

Menghadapi OCD memang tidak mudah, kondisi ini bisa dikendalikan dengan langkah yang tepat. Prosesnya memang butuh waktu, tapi memahami cara penanganan yang efektif bisa membuat pemulihan terasa jauh lebih ringan. Berita baiknya, OCD bukan sesuatu yang harus kamu hadapi sendirian, berikut beberapa cara mengelola dan mengatasi OCD: 

1. Terapi Perilaku Kognitif (CBT)

CBT membantu kamu memahami hubungan antara pikiran, perasaan, dan tindakan. Lewat terapi ini, kamu belajar mengenali pola obsesi dan menghentikan kebiasaan kompulsi yang muncul sebagai reaksi otomatis. Tujuannya adalah membangun cara berpikir baru yang lebih sehat dan terkendali.

2. Exposure and Response Prevention (ERP)

ERP adalah terapi khusus yang mempertemukan kamu secara bertahap dengan pemicu obsesi. Bedanya, kamu dilatih untuk tidak melakukan ritual yang biasanya dipakai untuk meredakan cemas. Dengan latihan berulang, otak belajar bahwa rasa takut itu tidak seberbahaya yang dibayangkan, sehingga kecemasan perlahan mereda.

Selain itu, dukungan keluarga, gaya hidup sehat, manajemen stres, dan konsultasi rutin dengan profesional kesehatan mental dapat sangat membantu proses pemulihan. Jangan ragu untuk mencari bantuan dokter atau psikolog jika gejala mulai mengganggu keseharian. 

Baca Artikel lainnya: Cara menyayangi diri sendiri